PELANGI TANPA WARNA
Hari ini pikiranku berkecamuk serasa
menendang-nendang kepela kemudian membantingnya pada hamparan sawah yang
sesekali membuatku harus menelan ludah kesela-sela kerongkongan kering yang
membuka lebar. Bagaimana tidak, melihat kenyataan bahwa mimpiku harus ku buang
jauh dari hidup kemudian memaksa melupakannya seolah tidak pernah terjadi.
lidah ini memang dapat mengatakan pada Abah dan Ema
kalau aku tidak sedih setelah keputusan tadi malam bahwa setelah kelulusan
nanti jiwa dan ragaku harus ada disawah ini atau mengambil latek di kebun karet
sebelum matahari terbit, mencangkul dan bercocok tanam seperti ketiga
saudaraku.
Air mata sesekali menghiasi wajahku yang bercampur
dengan keringat entah menghasilkan semangat atau sebaliknya namun yang pasti
ada sosok orang hebat di negri ini yang seolah memberiku kekuatan untuk tetap
semangat sepertinya, memang aku tidak pernah melihatnya secara langsung namun
dengan tegas guruku berpesan ketika upacara …
“ Tanamkan mimpi dalam diri kalian seperti mentri
BUMN Dahlan Iskan, kalian memang tidak akan pernah tahu jadi apa kalian nanti
setidaknya kalian tahu mau jadi apa kelak, pendidikan adalah gerbang menuju
masa depan yang cerah. Teruslah kejar pendidikan sampai belahan bumi di ujung
dunia sana”
Sedih rasanya menerima kenyataan akan hidupku, aku
takut mengingat mimpiku yang tinggi karena saat mengingatnya seolah dia sudah
pergi jauh-jauh sebelum aku mengatakan selamat tinggal, ditengah lamunanku yang
tanpa disadari tubuhku sudah basah kuyup kena cipratan air sawah yang sengaja Abah
berikan, matanya melotot menatapku
lekang-lekang, lalu Ema yang mengenakan pakaian kotak-kotak bercampur noda
seolah tidak bisa dibedakan lagi warnanya berbicara, sambil menatapku yang
sejak tadi melamun.
” suhirman punya mimpi boleh!, tapi harus pandai melihat diri sendiri, seharusnya sebelum
berpikir jauh lihatlah dulu disampingmu, aku ini dan Abahmu hanya petani miskin
tidak mungkin bisa membiyayai kuliahmu itu, sudah cukup pendidikan SMA juga,
anak orang kaya saja jelas-jelas hanya tamat
sekolah SD, sedangkan kamu anak orang miskin pengen kuliah, daripada nanti gila mendingan cepat selesaikan
pekerjaanmu nanti keburu dzuhur”. Nadanya menyakinkanku untuk mengerti dimana
kini aku berada.
Mereka memang benar, tidak sepantasnya aku terus
melamun yang tidak membawakan hasil, yang ada tubuh ini terasa lebih cape dan
hati terasa sakit, akhirnya aku putuskan untuk mencangkul lebih keras dan
melupakan mimpiku sesaat, sebelum dzuhur tiba tubuhku sudah terhanyut didalam sungai
yang jernih, ku rendam seluruh tubuh beserta kepala lalu membuka mata
lebar-lebar didalam sungai, lalu mengatakan “ aku past bisa” semakin lama
didalam sungai maka kata yang ku ucapkan semakin banyak. Inilah ritual
terbaikku dalam sejarah.
Bersama suara air sungai yang mengalir, kata-kata
burung kecil yang hinggap di ranting, hembusan angin yang membawa kesejukan dan
melodi tetesan air sawah pada batu berlumut. Kuserahkan jiwa dan raga pada sang
pemilik, solat dzuhur diatas batu membuktikan dimananpun Dia memang ada dan
mendengar do’a yang kupanjatkan karena itulah aku berani bermimpi, walaupun untuk mengatakan mimpiku pada selain
diriku tidak kuasa.
Keesokan harinya, tubuhku tidak lagi dibalut kain
yang penuh noda bekas digunakan
saudaraku waktu remaja, melainkan kemeja putih dan celana hitam tampak indah
saat dilengkapi dasi hitam. Sejenak tergambar jelas wajah Dahlan Iskan yang
mengenakan kemeja putih di depanku, senyumnya yang memang penuh kesederhanaan
membuatku ingin bertemu dengannya. Ternyata ibu sejak tadi melihatku dengan
pakaiannya yang paling bagus siap mendampingiku di hari perpisahaan dengan
teman-teman.
Di sepanjang acara perpisahaan hatiku menangis tidak
kuasa menyadari bahwa inilah hari terakhir
melihat mereka, melihat senyumku yang lepas, dan melihat diriku diantara
sejuata anak Negri yang mendapatkan pendidikan. Betapa miris rasanya saat
mereka sibuk mencari perguruan tinggi justru aku sibuk berdo’a pada Tuhan.
Sorak tangan dipersembahkan padaku, senyum
dihidangkan untuk keberanianku naik keatas panggung berpidato tiga bahasa,
sebelum naik kutatap wajah ibuku paling belakang yang mengenakan pakaian paling
sederhana, bukan karena tidak berani memakai yang lebih bagus namun hanya
itulah yang ada. hatiku berkata-kata” ibu inilah hidupku, inilah aku anakmu
dengan mimpinya dan bisakah kau bangga padaku bukan dengan tenagagku tapi
dengan kelebihanku dalam pendidikan.
Selang beberapa waktu setelah berpidato, namaku yang
hanya ada satu diumumkan sebagai siswa berprestasi baik akademik maupun nonakademik,
kupegang tangan Ema naik kepanggung sebagai bentuk kehormatan untuknya yang
membanting tulang membiyayaiku, menghabiskan keringatnya, dan mejadi alarm
paling tepat saat malam. Memang hanya
ini yang bisa aku berikan untukmu malaikatku.
Pak Tatang yang merupakan bagian kesiswaan, dengan penuh harapan berpesan pada ibuku saat
penyerahan hadiah atas prestasiku.” Bu, tolong lanjutkan pendidikan suhirman
karena dia anak yang rajin, pintar dan sopan, sayang kalau hanya sampai disini”
itulah jasa seorang guru untukku, penuh harapan dan cinta, ibuku hanya
tersenyum dan membalas dengan ucapan terima kasih, sepertinya ada sesuatu yang
membebani pikiran ibu.
Sepulang dari acara perpisahaan, kulepas kemeja
putih yang membuatku tidak ada bedanya dengan Dahlan Iskan, menggantinya dengan
kemeja bekas kakaku untuk pergi kekebun
karet, maklum Abah yang sudah tua tenaganya berkurang, jadi latek yang sudah
siap dijual harus aku yang membawanya dari kebun ke rumah. Sambil berjalan
kugunakan waktu untuk membaca buku kimia, tulisan yang berwarna hitam itu
perlahan luntur karena air mataku, bukan karena lemah aku menangis namun hanya
inilah bukti bahwa begitu besar harapanku, begitu cinta pada dunia pendidikan,
aku yang serius dengan belajar mengapa harus terhenti sedangkan banyak temanku
yang hanya sekedar main justru bisa
kuliah, bersama hembusan napas kulepasakan kesedihan ini meskipun masih tersisa
seutuhnya.
Setelah solat tahajud, kubuka kotak kecil yang
didalamnya berisi kenangan selama SMA, ada empat helai kertas yang berisi 100
mimpiku yang kutulis bersama teman-teman, salah satu yang kutatap adalah kuliah
di amerika dan bertemu Dahlan Iskan, kertas yang malang haruskah aku hanya
memilikimu di dalam kotak kardus ini, dan menyimpanmu sampai kelak aku benar-benar
lupa pernah bermimpi. Suara Ema dan Abah terdengar jelas di kamarnya yang hanya
dibatasi bilik dengan tempat aku sholat, rupanya mereka sudah lama mendengarkan
gerak gerikku sejak pukul 02.00 subuh.” Abah bagaimana kalau sawah yang di
samping rumah kita jual, mungkin cukup untuk kuliah, tidak tega rasanya melihat
si bungsu seperti sekarang. Tadi waktu menghadiri perpisahaan ada salah satu
ibu-ibu yang mengatakan seandainya dia punya anak seperti anak kita dia akan
membiayai sampai ke Negara lain karena rasa bangga, lantas kita sebagai orang
tuanya hanya melihat dia semakin tersiksa
kemudian abah menjawab dengan rasa tanggung jawab
yang tidak pernah hilang darinya, sampai detik ini “sudahlah ini urusannku,
besok aku cari orang yang mau membeli tanah kita, bukan masalah hidup tanpa
harta yang terpenting keinginan anak kita terpenuhi dan tetap melanjutkan
pendidikan”
Saat itu aku sadar, begitu egois diri ini akan mimpi
hingga lupa bahwa kedua orang tuaku tidak bisa tidur hanya karena rasa tanggung
jawab, berekting tidak ada beban seolah semua baik-baik saja, mengatakan bahwa
bukan masalah jika sawah yang selama ini jadi sumber kehidupan di jual, semua
hanya untu aku seorang anak yang bermimpi tidak melihat dirinya.
Pagi yang cerah, kali ini aku tidak bisa menyambutmu
dengan seragam putih abu-abu, karena masa itu baru saja berlalu kemarin, namun
jangan heran jika pinsilku berubah menjadi pisau latek, ranselku berubah
menjadi karung dan soal sepatu bukan lagi suatu keperluan untukku. setiap hari
aku bekerja di kebun dan sawah.
Selama ini aku jarang bekerja karena tinggal
dikontrakan, sebuah kontrakan tanpa pintu belakang, tidak ada kamar mandi,
didingnya yang lapuk hingga kesetiaanku untuk membersihkannya setiap pagi, waktu
itu sebelum kutinggalkan kosan ada satu buah surat yang masih menempel pada
dinding, tadinya akan dibiarkan begitu saja, namun tak sampai hati melihat
penulisnya pergi.
Surat ini kutulis saat malam yang hening,
membayangkan Dahlan Iskan membacanya sambil memberikan semangat untuk tetap
berjuang, surat inilah tempat menuangkan harapan dan mimpi.
Pelangi tanpa
warna…
Sempat aku
berpikir mimpi hanyalah milik mereka yang pantas, sempat pula aku ragu menulis
mimpi dalam selembar kertas henya karena
keterbatasanku, malam ini semua terjawab hingga tak menyisakan pertanyaan lagi..
Dapatkah bumi
berputar lebih cepat hingga kesengsaraan menjadi masa lalu, dapatkah pagi lebih
awal untuk menunjukan kebahagiaan, dan adakah satu detik untukku mengatakan
terima kasih telah mengajariku . bahwa mimpi butuh komitmen, perjuangan tak
berujung dan keyakinan.
Akulah seorang
pemimpi yang masih belajar, katakanlah padaku bahwa aku pasti bisa menjadi
dosen teknik kimia, dan melanjutkan kuliah ke amerika, inilah pertama kalinya
aku berani menulis mimpiku .
Pelangi tanpa
warna…seperti itukah aku.
kemarin,
sekarang dan nanti aku tetaplah pelangi yang penuh potensi, penuh semangat,
menuh ambisi, penuh mimpi dan keyakinan. Tapi aku tak punya warna untuk
menunjukan pada dunia . sampai detik ini aku hanyalah pelangi tanpa warna
Surat untuk dahlan kulipat empat kemudian dislipkan
pada sela-sela tumpukan pakaian.
Keesokan harinya, semua keluargaku sibuk di sawah
maklum hari ini cocok tanam padi, banyak orang beramai-ramai untuk ikut serta,
aku hanya duduk manis di bibir sawah sambil memikirkan nasibku yang malang,
melukis mimpi yang samar memang terkadang melelahkan. Kira-kira pukul 04.00
sore semua orang masih sibuk bergelut dengan matahari seolah berlomba siapa
yang harus mengalah, petani atau matahari. Telepon genggamku yang sejak pagi
digantung pada tiang saung berdering seolah menyuruhku berlari, beberapa saat Abah
yang sedang mendidihkan air teriak” suhirman telepon genggammu berbunyi, cepat
angkat!”
Aku berlari secepat mungkin percis dikejar anjing
gila waktu kelas VI Sekolah Dasar, atau dipanggil abah ketika ketahuan mandi
disungai tengah hari. Setelah kuangkat ternyata
salah satu Guruku mengatakan bahwa aku di terima kuliah di Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa dengan beasiswa. Aku memang serba kekurangan Tuhan, namun
sujudku diantara hampara sawah sempurna untukmu. Semua orang disawah menatapku
penuh bangga untuk sang pemimpi yang selalu yakin dengan dirinya, dengan diriku
yang berpikir pendidikan adalah duniaku, dengan diriku yang selalu merindukan Dahlan
Iskan, sambil teriak memecah gunung dan sungai ” aku akan kuliah…..”
Lagi-lagi
Kurendam tubuh dalam sungai, lalu membuka mata leber -lebar sambil mengucapkan
mantra yang menjadi ritualku sejak kecil,” aku pasti bisa” Kali ini aku tak
ingin beranjak…aku takut terjatuh lebih dalam, tapi jika hanya berendam aku
takut tidak melihat pelangi, karena aku yakin pelangi itu sebetulnya punya
warna, hanya saja aku belum menunjukanya, diamerika nanti akan aku kasih tahu