Minggu, 16 November 2014

PELANGI TANPA WARNA
Hari ini pikiranku berkecamuk serasa menendang-nendang kepela kemudian membantingnya pada hamparan sawah yang sesekali membuatku harus menelan ludah kesela-sela kerongkongan kering yang membuka lebar. Bagaimana tidak, melihat kenyataan bahwa mimpiku harus ku buang jauh dari hidup kemudian memaksa melupakannya seolah tidak pernah terjadi.
lidah ini memang dapat mengatakan pada Abah dan Ema kalau aku tidak sedih setelah keputusan tadi malam bahwa setelah kelulusan nanti jiwa dan ragaku harus ada disawah ini atau mengambil latek di kebun karet sebelum matahari terbit, mencangkul dan bercocok tanam seperti ketiga saudaraku.
Air mata sesekali menghiasi wajahku yang bercampur dengan keringat entah menghasilkan semangat atau sebaliknya namun yang pasti ada sosok orang hebat di negri ini yang seolah memberiku kekuatan untuk tetap semangat sepertinya, memang aku tidak pernah melihatnya secara langsung namun dengan tegas guruku berpesan ketika upacara …
“ Tanamkan mimpi dalam diri kalian seperti mentri BUMN  Dahlan Iskan, kalian memang  tidak akan pernah tahu jadi apa kalian nanti setidaknya kalian tahu mau jadi apa kelak, pendidikan adalah gerbang menuju masa depan yang cerah. Teruslah kejar pendidikan sampai belahan bumi di ujung dunia sana”           
Sedih rasanya menerima kenyataan akan hidupku, aku takut mengingat mimpiku yang tinggi karena saat mengingatnya seolah dia sudah pergi jauh-jauh sebelum aku mengatakan selamat tinggal, ditengah lamunanku yang tanpa disadari tubuhku sudah basah kuyup kena cipratan air sawah yang sengaja Abah berikan, matanya melotot  menatapku lekang-lekang, lalu Ema yang mengenakan pakaian kotak-kotak bercampur noda seolah tidak bisa dibedakan lagi warnanya berbicara, sambil menatapku yang sejak tadi melamun.
” suhirman punya mimpi boleh!, tapi harus pandai  melihat diri sendiri, seharusnya sebelum berpikir jauh lihatlah dulu disampingmu, aku ini dan Abahmu hanya petani miskin tidak mungkin bisa membiyayai kuliahmu itu, sudah cukup pendidikan SMA juga, anak orang kaya saja jelas-jelas  hanya tamat sekolah SD, sedangkan kamu anak orang miskin pengen kuliah, daripada  nanti gila mendingan cepat selesaikan pekerjaanmu nanti keburu dzuhur”. Nadanya menyakinkanku untuk mengerti dimana kini aku berada.
Mereka memang benar, tidak sepantasnya aku terus melamun yang tidak membawakan hasil, yang ada tubuh ini terasa lebih cape dan hati terasa sakit, akhirnya aku putuskan untuk mencangkul lebih keras dan melupakan mimpiku sesaat, sebelum dzuhur tiba tubuhku sudah terhanyut didalam sungai yang jernih, ku rendam seluruh tubuh beserta kepala lalu membuka mata lebar-lebar didalam sungai, lalu mengatakan “ aku past bisa” semakin lama didalam sungai maka kata yang ku ucapkan semakin banyak. Inilah ritual terbaikku dalam sejarah.
Bersama suara air sungai yang mengalir, kata-kata burung kecil yang hinggap di ranting, hembusan angin yang membawa kesejukan dan melodi tetesan air sawah pada batu berlumut. Kuserahkan jiwa dan raga pada sang pemilik, solat dzuhur diatas batu membuktikan dimananpun Dia memang ada dan mendengar do’a yang kupanjatkan karena itulah aku berani bermimpi, walaupun  untuk mengatakan mimpiku pada selain diriku  tidak kuasa.
Keesokan harinya, tubuhku tidak lagi dibalut kain yang penuh noda  bekas digunakan saudaraku waktu remaja, melainkan kemeja putih dan celana hitam tampak indah saat dilengkapi dasi hitam. Sejenak tergambar jelas wajah Dahlan Iskan yang mengenakan kemeja putih di depanku, senyumnya yang memang penuh kesederhanaan membuatku ingin bertemu dengannya. Ternyata ibu sejak tadi melihatku dengan pakaiannya yang paling bagus siap mendampingiku di hari perpisahaan dengan teman-teman.
Di sepanjang acara perpisahaan hatiku menangis tidak kuasa menyadari bahwa inilah hari terakhir  melihat mereka, melihat senyumku yang lepas, dan melihat diriku diantara sejuata anak Negri yang mendapatkan pendidikan. Betapa miris rasanya saat mereka sibuk mencari perguruan tinggi justru aku sibuk berdo’a pada Tuhan.
Sorak tangan dipersembahkan padaku, senyum dihidangkan untuk keberanianku naik keatas panggung berpidato tiga bahasa, sebelum naik kutatap wajah ibuku paling belakang yang mengenakan pakaian paling sederhana, bukan karena tidak berani memakai yang lebih bagus namun hanya itulah yang ada. hatiku berkata-kata” ibu inilah hidupku, inilah aku anakmu dengan mimpinya dan bisakah kau bangga padaku bukan dengan tenagagku tapi dengan kelebihanku dalam pendidikan.
Selang beberapa waktu setelah berpidato, namaku yang hanya ada satu diumumkan sebagai siswa berprestasi baik akademik maupun nonakademik, kupegang tangan Ema naik kepanggung sebagai bentuk kehormatan untuknya yang membanting tulang membiyayaiku, menghabiskan keringatnya, dan mejadi alarm paling tepat saat malam.  Memang hanya ini yang bisa aku berikan untukmu malaikatku.
Pak Tatang yang merupakan bagian kesiswaan,  dengan penuh harapan berpesan pada ibuku saat penyerahan hadiah atas prestasiku.” Bu, tolong lanjutkan pendidikan suhirman karena dia anak yang rajin, pintar dan sopan, sayang kalau hanya sampai disini” itulah jasa seorang guru untukku, penuh harapan dan cinta, ibuku hanya tersenyum dan membalas dengan ucapan terima kasih, sepertinya ada sesuatu yang membebani pikiran ibu.
Sepulang dari acara perpisahaan, kulepas kemeja putih yang membuatku tidak ada bedanya dengan Dahlan Iskan, menggantinya dengan kemeja bekas kakaku untuk  pergi kekebun karet, maklum Abah yang sudah tua tenaganya berkurang, jadi latek yang sudah siap dijual harus aku yang membawanya dari kebun ke rumah. Sambil berjalan kugunakan waktu untuk membaca buku kimia, tulisan yang berwarna hitam itu perlahan luntur karena air mataku, bukan karena lemah aku menangis namun hanya inilah bukti bahwa begitu besar harapanku, begitu cinta pada dunia pendidikan, aku yang serius dengan belajar mengapa harus terhenti sedangkan banyak temanku yang hanya sekedar main  justru bisa kuliah, bersama hembusan napas kulepasakan kesedihan ini meskipun masih tersisa seutuhnya.
Setelah solat tahajud, kubuka kotak kecil yang didalamnya berisi kenangan selama SMA, ada empat helai kertas yang berisi 100 mimpiku yang kutulis bersama teman-teman, salah satu yang kutatap adalah kuliah di amerika dan bertemu Dahlan Iskan, kertas yang malang haruskah aku hanya memilikimu di dalam kotak kardus ini, dan menyimpanmu sampai kelak aku benar-benar lupa pernah bermimpi. Suara Ema dan Abah terdengar jelas di kamarnya yang hanya dibatasi bilik dengan tempat aku sholat, rupanya mereka sudah lama mendengarkan gerak gerikku sejak pukul 02.00 subuh.” Abah bagaimana kalau sawah yang di samping rumah kita jual, mungkin cukup untuk kuliah, tidak tega rasanya melihat si bungsu seperti sekarang. Tadi waktu menghadiri perpisahaan ada salah satu ibu-ibu yang mengatakan seandainya dia punya anak seperti anak kita dia akan membiayai sampai ke Negara lain karena rasa bangga, lantas kita sebagai orang tuanya hanya melihat dia semakin tersiksa
kemudian abah menjawab dengan rasa tanggung jawab yang tidak pernah hilang darinya, sampai detik ini “sudahlah ini urusannku, besok aku cari orang yang mau membeli tanah kita, bukan masalah hidup tanpa harta yang terpenting keinginan anak kita terpenuhi dan tetap melanjutkan pendidikan”
Saat itu aku sadar, begitu egois diri ini akan mimpi hingga lupa bahwa kedua orang tuaku tidak bisa tidur hanya karena rasa tanggung jawab, berekting tidak ada beban seolah semua baik-baik saja, mengatakan bahwa bukan masalah jika sawah yang selama ini jadi sumber kehidupan di jual, semua hanya untu aku seorang anak yang bermimpi tidak melihat dirinya.
Pagi yang cerah, kali ini aku tidak bisa menyambutmu dengan seragam putih abu-abu, karena masa itu baru saja berlalu kemarin, namun jangan heran jika pinsilku berubah menjadi pisau latek, ranselku berubah menjadi karung dan soal sepatu bukan lagi suatu keperluan untukku. setiap hari aku bekerja di kebun dan sawah.
Selama ini aku jarang bekerja karena tinggal dikontrakan, sebuah kontrakan tanpa pintu belakang, tidak ada kamar mandi, didingnya yang lapuk hingga kesetiaanku untuk membersihkannya setiap pagi, waktu itu sebelum kutinggalkan kosan ada satu buah surat yang masih menempel pada dinding, tadinya akan dibiarkan begitu saja, namun tak sampai hati melihat penulisnya pergi.
Surat ini kutulis saat malam yang hening, membayangkan Dahlan Iskan membacanya sambil memberikan semangat untuk tetap berjuang, surat inilah tempat menuangkan harapan dan mimpi.
Pelangi tanpa warna…
Sempat aku berpikir mimpi hanyalah milik mereka yang pantas, sempat pula aku ragu menulis mimpi dalam selembar  kertas henya karena keterbatasanku, malam ini semua terjawab hingga tak menyisakan pertanyaan lagi..
Dapatkah bumi berputar lebih cepat hingga kesengsaraan menjadi masa lalu, dapatkah pagi lebih awal untuk menunjukan kebahagiaan, dan adakah satu detik untukku mengatakan terima kasih telah mengajariku . bahwa mimpi butuh komitmen, perjuangan tak berujung dan keyakinan.
Akulah seorang pemimpi yang masih belajar, katakanlah padaku bahwa aku pasti bisa menjadi dosen teknik kimia, dan melanjutkan kuliah ke amerika, inilah pertama kalinya aku berani menulis mimpiku .
Pelangi tanpa warna…seperti itukah aku.
kemarin, sekarang dan nanti aku tetaplah pelangi yang penuh potensi, penuh semangat, menuh ambisi, penuh mimpi dan keyakinan. Tapi aku tak punya warna untuk menunjukan pada dunia . sampai detik ini aku hanyalah pelangi tanpa warna
Surat untuk dahlan kulipat empat kemudian dislipkan pada sela-sela tumpukan  pakaian.
Keesokan harinya, semua keluargaku sibuk di sawah maklum hari ini cocok tanam padi, banyak orang beramai-ramai untuk ikut serta, aku hanya duduk manis di bibir sawah sambil memikirkan nasibku yang malang, melukis mimpi yang samar memang terkadang melelahkan. Kira-kira pukul 04.00 sore semua orang masih sibuk bergelut dengan matahari seolah berlomba siapa yang harus mengalah, petani atau matahari. Telepon genggamku yang sejak pagi digantung pada tiang saung berdering seolah menyuruhku berlari, beberapa saat Abah yang sedang mendidihkan air teriak” suhirman telepon genggammu berbunyi, cepat angkat!”
Aku berlari secepat mungkin percis dikejar anjing gila waktu kelas VI Sekolah Dasar, atau dipanggil abah ketika ketahuan mandi disungai tengah hari. Setelah  kuangkat ternyata salah satu Guruku mengatakan bahwa aku di terima kuliah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan beasiswa. Aku memang serba kekurangan Tuhan, namun sujudku diantara hampara sawah sempurna untukmu. Semua orang disawah menatapku penuh bangga untuk sang pemimpi yang selalu yakin dengan dirinya, dengan diriku yang berpikir pendidikan adalah duniaku, dengan diriku yang selalu merindukan Dahlan Iskan, sambil teriak memecah gunung dan sungai ” aku akan kuliah…..”
Lagi-lagi Kurendam tubuh dalam sungai, lalu membuka mata leber -lebar sambil mengucapkan mantra yang menjadi ritualku sejak kecil,” aku pasti bisa” Kali ini aku tak ingin beranjak…aku takut terjatuh lebih dalam, tapi jika hanya berendam aku takut tidak melihat pelangi, karena aku yakin pelangi itu sebetulnya punya warna, hanya saja aku belum menunjukanya, diamerika nanti akan aku kasih tahu

Rabu, 01 Januari 2014

Masa Depan Kita yang Terancam
















sawah merupakan tempat yang tedamai untuk merenungi keehidupan, duduk dan melihat hijaunya daun yang kemudian berganti melihat kuningnya buah biji padi, merupakan kebahagiaan tersendiri.
tapi suatu saat... sawah hanya menjadi cerita yang tergerus oleh peradaban jaman, sawah hanya mejadi lukisan indah dari sang seniman yang hebat, hebat karena dia mengerti sawah adalah harta terbesar indonesia.

apakah manusia lupa atau hanya pura-pura tidak tahu, bahwa sawah adalah kehidupan, lantas mengapa memilih mendirikan pabrik dan rumah yang tidak di seimbang , lantas bagai mana dengan nasib petani , apakah pendiri pabrik yang berpendidikan berpendidikan tidak tahu dia memakan nasi bukan besi, dia memakan nasi bukan plastik. begitupun orang kaya apa dia lupa meskipun rumahnya berdiri kokoh jika tidak ada pasokan beras dari petani maka dia kelaparan.
salah satu alasan mengapa pemerintah harus mensejahtrakan petani, agar dia masih bisa makan beras, agar sawah masih dapat dinikmati, agar ornag masih bisa merasakan kehidupan.